Cari Blog Ini

LAPORAN UTAMA, PENDIDIKAN, KESEHATAN, LINGKUNGAN, DAERAH

Senin, 02 Agustus 2010

Strategi Pembelajaran Sains SD Melalui Model Problem Based Learning

Latar Belakang
Peningkatan kualitas pendidikan merupakan hal yang tidak akan habis dibicarakan dan diupayakan. Salah satu upaya peningkatan kualitas pendidikan tersebut adalah mengubah paradigma pendidikan khususnya di sekolah dasar (SD) dari pengajaran yang berpusat pada guru (teacher centered) ke arah pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered). Paradigma ini menuntut para guru agar lebih kreatif dalam mengembangkan pembelajaran, sehingga memungkinkan siswa dapat berprestasi melalui kegiatan-kegiatan nyata yang menyenangkan dan mampu mengembangkan potensi siswa secara optimal.
Sains adalah ilmu yang sistematis dan dirumuskan, yang berhubungan dengan gejala-gejala kebendaan dan didasarkan terutama atas pengamatan induksi. Sains hakikatnya terlahir melalui sebuah proses yang pada titik akhirnya terwujud produk Sains. Kemudian dari proses dan produk tersebut harus berimplikasi terhadap sikap. Sikap tersebut harus dapat terwujud dalam kehidupan sehari-hari yang disebut dengan sikap ilmiah Sains (Winataputra, 1993).

Guru dalam mengajarkan Sains tidak hanya sebatas produk saja. Produk Sains tersebut diantaranya termuat dalam buku teks pelajaran Sains. Selain produk, yang harus dilakukan guru adalah bagaimana membelajarkan siswa pada proses, aplikasi, dan sikap. Proses Sains adalah usaha membelajarkan untuk mendapatkan Sains itu sendiri menjadi miliknya. Aplikasi Sains adalah penerapan metode atau kerja ilmiah dan konsep Sains dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan sikap merupakan wujud rasa ingin tahu siswa tentang obyek, fenomena alam, makhluk hidup, serta hubungan sebab akibat yang menimbulkan masalah yang dapat dipecahkan melalui prosedur yang benar. Yang lebih penting lagi adalah proses membelajarkan Sains pada siswa yaitu siswa tidak sekedar tahu (knowing) dan hafal (memorizing) tentang konsep-konsep Sains, melainkan siswa memahami (understand) konsep-konsep Sains dan menghubungkan keterkaitan suatu konsep dengan konsep lainnya.

Jadi, proses pembelajaran Sains menuntut guru untuk senantiasa menggunakan model pembelajaran yang dapat melibatkan belajar siswa ke dalam dimensi produk, proses, dan sikap. Dengan menggunakan model pembelajaran yang inovatif tersebut tujuan utama Sains dapat tercapai. Maka, untuk mencapai tujuan Sains tersebut dapat menggunakan model inovasi pembelajaran Sains yang dewasa ini dikembangkan yaitu model PBL (Problem Based Learning).

Problem Based Learning (PBL) merupakan salah satu model pembelajaran yang diprediksi cocok untuk mencapai tujuan pengajaran Sains di atas. Menurut Arends (2007), PBL sangat berguna untuk mengembangkan kemampuan berpikir siswa yang lebih tinggi dalam situasi yang berorientasi pada masalah belajar yang bersifat kontekstual. Model pembelajaran ini cocok untuk materi pelajaran yang terkait erat dengan masalah nyata, meningkatkan keterampilan proses untuk memecahkan masalah, mempelajari peran orang dewasa melalui pengalamannya dalam situasi yang nyata, serta melatih siswa untuk berdiri sendiri sebagai pebelajar yang otonom.

Secara garis besar PBL merupakan model pembelajaran yang menyajikan kepada siswa situasi masalah yang otentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri. PBL tidak dirancang umtuk membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa. PBL utamanya dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah, dan keterampilan intelektual. Fokus pengajaran tidak begitu banyak pada apa yang sedang dilakukan siswa (perilaku mereka), melainkan kepada apa yang mereka pikirkan (kognisi mereka) pada saat mereka melakukan kegiatan belajar. Peran guru dalam PBL terkadang melibatkan presentasi dan penjelasan sesuatu kepada siswa, namun yang lebih lazim guru berperan sebagai pembimbing dan fasilitator, sehingga siswa belajar untuk berpikir dan memecahkan oleh mereka sendiri (Akinoglu dan Ozkardes, 2007; Arends, 2007; Tiwari, 2006).

Sains di Sekolah Dasar

Sains merupakan suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis, dan dalam penggunaannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam. Perkembangan Sains selanjutnya tidak hanya ditandai oleh adanya kumpulan fakta saja, tetapi juga ditandai oleh munculnya metode ilmiah (scientific methods) yang terwujud melalui suatu rangkaian kerja ilmiah (working scientifically), nilai dan sikap ilmiah (scientific attitudes). Jadi, jelaslah bahwa Sains dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian konsep yang saling berkaitan dengan bagan-bagan konsep yang telah berkembang sebagai suatu hasil eksperimen dan observasi, yang bermanfaat untuk eksperimentasi dan observasi lebih lanjut.

Merujuk pada pengertian Sains di atas, maka hakikat Sains meliputi empat unsur, yaitu: (1) produk: berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum; (2) proses: prosedur pemecahan masalah melalui metode ilmiah; metode ilmiah meliputi pengamatan, penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen, percobaan atau penyelidikan, pengujian hipotesis melalui eksperimentasi; evaluasi, pengukuran, dan penarikan kesimpulan; (3) aplikasi: penerapan metode atau kerja ilmiah dan konsep Sains dalam kehidupan sehari-hari; (4) sikap: rasa ingin tahu tentang obyek, fenomena alam, makhluk hidup, serta hubungan sebab akibat yang menimbulkan masalah baru yang dapat dipecahkan melalui prosedur yang benar, Sains bersifat open ended.
SD merupakan tempat pertama kali anak secara khusus mempelajari Sains secara terprogram. Mereka mempelajari Sains tentang konsep-konsep yang erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Maka inilah yang merupakan salah satu sebab mengapa siswa sekolah dasar mempelajari Sains dalam bentuk Sains Terpadu, tidak dipecah-pecah dalam berbagai disiplin ilmu. Sains diberikan sebagai suatu kesatuan agar anak-anak dapat melihat adanya hubungan atau korelasi antar berbagai fakta yang dipelajarinya.
Pendidikan Sains di SD diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan Sains diarahkan untuk inkuiri dan berbuat sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar.

Karakteristik Problem Based Learning

PBL telah dikenal sejak zaman John Dewey, yang sekarang ini mulai diangkat sebab ditinjau secara umum PBL terdiri dari menyajikan kepada siswa situasi masalah yang otentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri. Menurut Dewey belajar berdasarkan masalah adalah interaksi antara stimulus dan respons, merupakan hubungan antara dua arah belajar dan lingkungan. Lingkungan memberi masukan kepada siswa berupa bantuan dan masalah, sedangkan sistem saraf otak berfungsi menafsirkan bantuan itu secara efektif sehingga masalah yang dihadapi dapat diselidiki, dinilai, dianalisis serta dicari pemecahannya dengan baik. Pengalaman siswa yang diperoleh dari lingkungan akan menjadikan kepadanya bahan dan materi guna memperoleh pengertian serta bisa dijadikan pedoman dan tujuan belajarnya.

PBL telah dikembangkan dan mengalami perkembangan pesat dalam pendidikan kedokteran pada pertengahan tahun 1950-an dan sejak itulah telah disempurnakan dan diimplementasikan pada lebih dari 60 sekolah kedokteran di Eropa dan Amerika. Siswa-siswa yang belajar dengan model pembelajaran ini lebih mandiri dan memiliki keingintahuannya lebih besar, sehingga mereka memiliki kemampuan yang mumpuni dalam mengaplikasikannya dalam dunia medis. Sekarang model pembelajaran ini telah diadopsi pada sejumlah lembaga pendidikan, seperti sekolah bisnis, sekolah pendidikan, kerja sosial dan perguruan tinggi.

PBL merupakan model pembelajaran yang efektif untuk pengajaran proses berpikir tingkat tinggi. Pembelajaran ini membantu siswa untuk memproses informasi yang sudah jadi dalam benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya. Pembelajaran ini cocok untuk mengembangkan pengetahuan dasar maupun kompleks. PBL mampu memberdayakan siswa dengan kebebasan yang lebih besar, mengaktivasi pembelajaran menjadi lebih menarik, meningkatkan penguasaan terhadap materi karena siswa mencari informasi dan menggunakannya secara aktif dalam menyelesaiakan permasalahan yang ditemukannya dalam kegiatan pembelajaran.
PBL berakar pada prinsip Dewey, “learning by doing and experiencing”, pandangan Dewey bahwa sekolah seharusnya menjadi laboratorium pemecahan masalah kehidupan nyata (Arends, 2007). PBL dikembangkan berdasarkan teori psikologi kognitif yang menyatakan bahwa belajar suatu proses dimana pembelajar secara aktif mengkonstruksi pengetahuannya melalui interaksinya dengan lingkungan belajar yang dirancang oleh fasilitator pembelajaran. Teori yang dikembangkan ini mengandung dua prinsip penting yaitu (1) belajar adalah suatu proses konstruksi bukan proses menerima (receptive process); (2) belajar dipengaruhi oleh faktor interaksi sosial dan sifat kontekstual dari pelajaran (Ibrahim dan Nur, 2008).

PBL konsisten dengan pandangan filosofi pembelajaran sekarang, terutama konstruktivisme. Teori-teori konstruktivis tentang belajar, yang menekankan pada kebutuhan siswa untuk menginvestigasi lingkungan dan mengkonstruksikan pengetahuan secara personal yang memberikan dasar teoritis untuk PBL, seperti Piaget dengan teori kognitifnya, Vygotsky dengan konsep zone of proximal development. Menurut Vygotsky, belajar terjadi melalui interaksi sosial dengan guru dan teman sebaya yang lebih mampu. Selain itu, PBL juga menyandarkan diri pada konsep lain yang berasal dari Bruner yakni idenya tentang scaffolding, proses bagi seorang siswa yang dibantu guru atau teman sebaya yang lebih mampu untuk mengatasi masalah dan menguasai keterampilan yang sedikit di atas tingkat perkembangannya saat ini.

Hal ini sesuai dengan tiga prinsip konstruktivisme menurut Savery dan Duffу (1995), yaitu: (1) pemahaman datang dari interaksi dengan lingkungan, (2) konflik kognitif menstimulasi pembelajaran, dan (3) pengetahuan berkembang melalui negosiasi sosial dan evaluasi proses pemahaman seseorang. Konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan tidak absolut tetapi dikonstruksi oleh pembelajar berdasarkan pengetahuan awal dan pandangan terhadap dunia. Jadi kesempatan untuk menemukan pengetahuan sendiri, membedakan pemahaman pengetahuan diri dengan orang lain dan menyusun kembali pengetahuan yang lebih relevan dengan pengalaman diperoleh siswa dalam pembelajaran dengan model PBL.

PBL secara mendasar mengubah pandangan proses belajar mengajar dari guru mengajar ke siswa belajar. Sebaliknya, dalam pengajaran tradisional, siswa menganggap bahwa guru merupakan satu-satunya ahli dalam menentukan setiap langkah pengajaran atau stage on the stage, dan sebagai sumber pengetahuan. Dalam PBL siswa dituntut untuk bekerja secara kooperatif dan menjadi bagian dari kelompok (cooperative learning). Kunci keefektifan dalam PBL adalah kemampuan siswa untuk bekerja sama secara efektif dalam memecahkan masalah (Akinoglu dan Ozkader, 2007). Dengan demikian dalam proses pembelajaran, fungsi guru dalam PBL adalah berperan sebagai fasilitator, motivator, organisator, dan evaluator.
PBL biasanya terdiri atas 5 (lima) tahap utama yang dimulai dengan guru memperkenalkan siswa dengan situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Jika jangkauan masalahnya sedang-sedang saja, kelima tahapan tersebut mungkin dapat diselesaikan 2 sampai 3 kali pertemuan. Namun untuk masalah yang kompleks akan membutuhkan setahun penuh untuk menyelesaikannya. Kelima tahapan tersebut yaitu:

1. Orientasi Siswa Pada Masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, mengajukan fenomena atau demonstrasi atau cerita untuk memunculkan masalah, memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilih.

2.Mengorganisasikan siswa untuk belajar
Guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.

3.Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.

4.Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model serta membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.

5.Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.

Bagaimana Starategi Pembelajaran Sains SD dengan PBL?

Ciri utama pembelajaran Sains melalui PBL adalah dimulai dengan pertanyaan atau masalah yang dilanjutkan dengan arahan guru pada siswa untuk menggali informasi, mengkonfirmasi dengan pengetahuan yang sudah dimiliki dan mengarahkan pada tujuan apa yang belum dan harus diketahui. Jadi terlihat bahwa siswa akan dapat menemukan sendiri jawaban dari masalah atau pertanyaan yang timbul di awal pembelajaran. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan tidak dengan jalan mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi dengan jalan menemukan dan menggeneralisasi sendiri sebagai hasil kemandirian

Pembelajaran Sains menggunakan model PBL haruslah mengembangkan kegiatan-kegiatan Sains yang bersifat kontekstual, yaitu: masalah-masalah yang dijadikan topik terkait dengan kehidupan sehari-hari, siswa merumuskan hipotesis, siswa mempersiapkan logistik yang diperlukan, siswa melakukan eksperimen, membuat laporan, siswa dapat menarik kesimpulan. Semua kegiatan tersebut harus berorientasi pada keaktifan siswa dalam Sains, rasa senang dan pengalaman nyata anak dengan lingkungan kehidupannya.
Strategi pembelajaran Sains melalui model PBL dapat dilihat pada diagram di bawah ini.


Pembelajaran Sains dengan PBL di dalamnya digunakan pendekatan pemecahan masalah, di mana siswa menemukan kombinasi aturan-aturan yang telah dipelajari terlebih dahulu yang digunakan untuk menyelesaikan kesulitan masalah tersebut. Sains dengan PBL mengembangkan kebiasaan berpikir ilmiah dan berpikir bebas. Untuk mencocokkan masalah siswa harus berpikir, membuat hipotesis, membuktikan hipotesis, kemudian ditarik kesimpulannya.

Dalam menghadapi masalah yang dihadapi siswa dalam belajar tidak perlu emosional, putus asa, tetapi bertindaklah tenang, rasional, dan tidak terpengaruh oleh prasangka serta takhayul, Berbagai teknik pemecahan masalah dapat dterapkan dalam pembelajaran Sains. Banyak masalah Sains yang merupakan tantangan bagi siswa, seperti: mengapa terjadi gerhana matahari atau gerhana bulan, mengapa accu (aki) dapat mengahasilkan listrik, mengapa kelelawar dapat terbang dalam keadaan gelap, bagaimana terjadinya embun pada daun tumbuhan, dan lain sebagainya. Cara yang terbaik bagi guru dalam membimbing siswa untuk memecahkan masalah tersebut adalah langkah demi langkah dengan menggunakan contoh, gambar dan lain-lain. Dengan dibimbing anak anak dapat menemukan sendiri jalan pemecahan masalah tersebut sesuai dengan langkah pembelajaran dalam PBL.

Secara ringkas, pembelajaran Sains melalui model PBL dapat terlaksana dengan baik apabila:
1.Tersedianya masalah untuk siswa merupakan syarat awal yang harus dipenuhi dalam PBL dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran. Masalah yang relevan dalam mengajarkan Sains haruslah berupa masalah-masalah kontekstual (contextual problems).
2.Dalam melaksanakan model PBL, guru harus memperhatikan: (a) sajian bahan ajar berupa masalah yang memicu terjadinya konflik kognitif di dalam diri siswa, (b) tidak perlu cepat-cepat memberi bantuan pada siswa, agar perkembangan aktual siswa maksimal, (c) intervensi yang diberikan harus minimal dan ketika benar-benar dibutuhkan siswa, dan (d) agar intervensi yang dilakukan efektif, perlu mengetahui pengetahuan siap siswa (prior knowledge) dan mempertimbangkan berbagai alternatif solusi masalah yang berada dalam koridor pengetahuan siswa.


Penulis : Alumnus Program Magister Pendidikan Dasar UPI Bandung dan Guru SDN Cisurupan 02 Kecamatan Cisurupan Garut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar