Cari Blog Ini

LAPORAN UTAMA, PENDIDIKAN, KESEHATAN, LINGKUNGAN, DAERAH

Selasa, 26 Oktober 2010

Norma Pendidikan Kita

Bang Imam/tengku_imam@yahoo.co.id

Dibalut dengan istilah ‘Otonomi Pendidikan’ pemerintah pusat yang diwakili Kementerian Pendidikan Nasional pelan-pelan telah berusaha menghindar dari tanggung jawab pada pelaksanaan, proses, hingga pengawasan terhadap keberlangsungan pengajaran pada satuan pendidikan.

Hal ini terlihat dari terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan dan disusul PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Kedua PP tersebut secara jelas tertuang Otonomi dan Otoritas Pendidikan 90 persen dibebankan kepada daerah.


Saat ini Kementerian Pendidikan lebih mengurus teori yang oleh satuan pendidikan dan pemerintah Kabupaten/Kota justru dianggap mengada-ada atau dibuat tanpa mempertimbangkan dampak terhadap pendidikan itu sendiri.

Sebut saja pengelolaan dan BOS, rolesharing, hibah, DAK semuanya langsung diberikan pengelolaan kepada daerah, bahkan ada yang langsung ditransfer ke rekening sekolah. Sehingga, jika melanggar dan terjadi kesalahan dapat dipastikan Kementerian Pendidikan Nasional lepas tangan alias tidak tanggung jawab. Padahal, banyak kesalahan terjadi karena ketidakkonsistenan dan berubah-ubahnya aturan yang dibuat oleh Kementerian Pendidikan—sehingga menyulitkan daerah dan satuan pendidikan memahami aturan yang dimaksud.

Tahun depan misalnya, pengelolaan dana BOS akan dilimpahkan ke Kabupaten/Kota. Dibalik pelimpahan itu, mereka membuat aturan yang sangat ketat, bahwa dengan dana BOS sekolah tidak boleh memungut sepeserpun. Jika masih berani, satuan pendidikan akan menerima resiko penuntutan hingga pemenjaraan.

Padahal, bila diteliti dan ditelaah dana BOS tersebut tidak mencukupi untuk kebutuhan dalam proses belajar-mengajar di sekolah. Hal ini menjadi dilema, terutama bagi provinsi dan kab/kota yang belum mampu menutupi kekurangan BOS dengan BOP Provinsi maupun BOP kab/kota.

Hal yang lumrah kita rasakan saat ini misalnya, sekolah dan guru tetap ngotot dan berani memungut sejumlah uang terhadap siswa, sekalipun diperhalus dengan melakukan kegiatan yang sebenarnya tidak terkait pada RPP dan kalender pendidikan. Penjualan buku paket, LKS, dan sejumlah seragam tetap dilakukan oleh sekolah. Untuk buku paket biasanya sekolah meminjam rumah di dekat sekolah sebagai penampung (mirip took buku, dadakan) dan siswa diarahkan untuk membeli buku di tempat tersebut.

Praktek seperti ini tidak dapat dihentikan. Kementerian Pendidikan Nasional berdalih mereka tidak memiliki wewenang untuk menindak, sementara daerah belum memiliki acuan soal penindakan dan sangsi terhadap praktek jual-beli buku. Disisi lain, sekolah berdalih macam-macam mulai dari belum terpenuhinya buku BOS yang disediakan pemerintah hingga tidak cocoknya buku panduan sesuai dengan kemampuan guru.

Memang, untuk buku baik di SD, SMP maupun SMA, Kementerian Pendidikan Nasional belum mampu sepenuhnya memenuhi kebutuhan buku di sekolah. Termasuk, yang paling baru, tunjangan sertifikasi guru sudah langsung ditransfer ke kab/kota.

Persoalan ini terus berlarut-larut, bahkan tanpa ada kendali. Diakhir Agustus 2010 ini malah terbit aturan baru berupa Peraturan Menteri Nomor 20 Tahun 2010 tentang Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria di Bidang Pendidikan.

Permendiknas yang disingkat dengan NSPK ini ditujukan terhadap kab/kota dalam pelimpahan tugas dan tanggung jawabnya terhadap penyelenggaraan pendidikan sebagai akibat dari Otonomi Pendidikan’ yang terindikasi menghilangkan tanggung jawab pemerintah pusat utamanya Kementerian Pendidikan Nasional sebagai regulator sekaligus eksekutor dalam hal bidang pendidikan.

NSPK ini sudah mengatur tentang tanggung jawab kab/kota soal kebijakan, pembiayaan, kurikulum, sarana dan prasarana, pendidik dan tenaga kependidikan, pengendalian mutu pendidikan, evaluasi, akreditasi, hingga penjaminan mutu.

Pelimpahan kewenangan dari Kementerian Pendidikan Nasional ke kabupaten/kota tersebut bahkan dilaksanakan mulai dari jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga perguruan tinggi. Sehingga Kementerian Pendidikan Nasional nantinya hanya mengurusi sifat administrasi laporan dan menjadi sejenis fasilitator dan konsultan yang tugasnya sebatas membuat aturan dan program tanpa pernah mempertanggungjawabkan apakah program tersebut cocok, berhasil, dan mampu meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan kita.

Yang lebih parahnya lagi, aturan dan program tersebut dapat berubah 2 sampai 3 kali dalam setahun. Sehingga memusingkan dan menjerat pemerintah kab/kota kearah hokum, karena tidak mampu menterjemahkan undang-undang yang kerap berubah-ubah itu. ***  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar