siswa SMP salah satu yang menerima dana BOS |
Partisipasi masyarakat dalam memantau pelaksanaan dan penyaluran dana BOS tidak memiliki kekuatan hukum, karena masyarakat hanya sebatas memantau dan tidak bisa masuk terlalu jauh, seperti mengaudit penggunaannya—sementara Komite Sekolah yang menjadi perwakilan masyarakat banyak dimanfaatkan sebagai stempel bagi kepala sekolah untuk meloloskan praktek penyalahgunaan penggunaan Dana BOS
Coba kita simak aturan pengawasan masyarakat terhadap BOS dalam Panduan Pengelolaan Dana BOS Tahun 2011 yang diterbitkan Kementerian Pendidikan Nasional pada Lampiran Permendiknas Nomor 37 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana BOS Tahun Anggaran 2011.
Masyarakat hanya dapat mengawasi dan memotret pelaksanaan program BOS di sekolah, tanpa dapat melakukan audit. Sehingga apabila masyarakat menemukan penyalahgunaan penggunaan dana BOS oleh sekolah, mereka harus mengadukan hal tersebut kepada instansi pengawas fungsional atau lembaga berwenang seperti Posko Pengaduan BOS yang terbentuk di Disdik Provinsi/Kab/Kota atau Inspektorat Jenderal Kemdiknas, Inspektorat Provinsi dan Kab/Kota.
Sedangkan eksternal yang diakui dalam panduan ini adalah Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta kewenangan memeriksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Padahal dalam putusan Majelis Komisioner KIP memutuskan bahwa SPJ dan dokumen pendukung berupa kuitansi pembayaran dan bukti keuangan lainnya adalah merupakan dokumen publik yang dapat diakses oleh masyarakat.
Hal ini sesuai dengan Putusan Majelis Komisioner KIP Kementerian Informasi dan Komunikasi yang memenangkan ICW dalam perkara sengketa informasi pengelolaan dana BOS dan BOP DKI Jakarta melawan Disdik. Putusan ini telah mempertimbangkan UU 14/2008 tentang KIP dan Peraturan KIP 1/2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik pada Badan Publik.
Belum lagi jika mengacu pada hasil penelitian Bank Dunia terhadap 3.600 orang tua pada 720 sekolah di Indonesia. Diketahui, dari sebagian besar responden yang berpendidikan SD hingga SMA, pengetahuan orang tua tentang BOS masih rendah.
Temuan Bank Dunia adalah hanya sebagian besar orang tua yang pernah mendengar tentang BOS (86,13%), orang tua mengetahui singkatan BOS (46,67%), mengetahui tujuan penggunaan dana BOS (44,78%), mengetahui jumlah dana BOS (2,49%), dan mengetahui penggunaan dana BOS (25,51%).
Muhammad Nuh juga mengakui temuan itu menjadi masukan untuk perbaikan dalam pengelolaan dan BOS. Sehingga ia tidak membantah bahwa pengetahuan tentang penggunaan dana BOS oleh orang tua masih tergolong rendah. “Sebagian besar orang tua memperolah informasi tentang BOS dari sekolah, kemudian dari media, dan dari saudara atau tetangga,” ujarnya.
“Kita ingin mengajak masyarakat untuk sama-sama memantau dan berpartisipasi agar dana BOS yang (jumlahnya) triliunan itu tepat sasaran,” kata Nuh lagi. Namun kata-kata ini belum diimbangi dengan aturan yang memberikan ruang terhadap publik untuk mengontrol penggunaan dan BOS tersebut.
“Kami juga mengundang masyarakat untuk ikut berpartisipasi mengawasi penggunaan dana BOS,” kata Nuh meyakinkan. Masyarakat yang dimaksud adalah Komite Sekolah sebagai perwakilan dari masyarakat yang langsung ikut terlibat dalam menyetujui penggunaan dan BOS.
Padahal partisipasi masyarakat dalam memantau pelaksanaan dan penyaluran dana BOS tidak memiliki kekuatan hukum, karena masyarakat hanya sebatas memantau dan tidak bisa masuk terlalu jauh, seperti mengaudit penggunaannya sementara Komite Sekolah yang menjadi perwakilan masyarakat banyak dimanfaatkan sebagai stempel bagi kepala sekolah untuk meloloskan praktek penyalahgunaan penggunaan Dana BOS.
Mendiknas menyebutkan, partisipasi orang tua dalam program BOS dapat dilakukan melalui melihat papan pengumuman sekolah yang wajib ditempelkan oleh sekolah, turut serta dalam perencanaan sekolah melalui Komite Sekolah, memberikan sumbangan sukarela jika dana BOS tidak mencukupi, serta memberikan saran, masukan, pendapat, atau usulan kepada sekolah terkait pengelolaan BOS di sekolah.
Pada tahun 2011 ini, dana BOS yang selama ini dianggarkan di Kemdiknas, akan disalurkan langsung dari kas negara ke kas daerah. Setelah itu, langsung ke rekening sekolah dengan mengikuti mekanisme APBD.
Mekanisme baru ini tidak mempengaruhi prinsip dasar pengelolaan dana BOS di sekolah. Dana BOS tidak akan terlambat disalurkan ke sekolah setiap triwulannya. Penyaluran dana BOS dalam bentuk uang tunai, tidak dalam bentuk barang, tepat jumlah, dan tepat sasaran. Dana BOS tidak digunakan untuk kepentingan di luar biaya operasional sekolah. Dan, petunjuk pelaksanaan/penggunaan tetap berpedoman pada panduan Kemdiknas.
Pengalihan penyaluran bukan berarti sebagai pengganti kewajiban daerah untuk penyediaan BOS daerah (BOSDA), tapi penyaluran dana BOS ke sekolah tidak perlu menunggu pengesahan APBD. Di samping menyediakan BOSDA, daerah harus menyediakan dana untuk manajemen tim BOS, termasuk monitoring dan evaluasi. Juga, kewenangan mengelola dana BOS tetap berada di sekolah sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah atau MBS.
Larang Jual Beli Buku
Pengelolaan Program BOS mulai dari pusat hingga sekolah telah dibentuk tim manajemen BOS pusat hingga ke daerah. Tim Manajemen BOS Pusat misalnya berfungsi melakukan pendataan jumlah siswa per sekolah berdasarkan pada sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Kemudian, tim tidak diperkenankan untuk melakukan pungutan dalam bentuk apapun terhadap tim manajemen BOS provinsi maupun Kab/Kota.
Sementara tim BOS Provinsi juga tidak diperkenankan melakukan pungutan dalam bentuk apapun terhadap sekolah, tidak boleh memaksakan untuk pembelian barang dan jasa atau mendorong sekolah untuk melakukan pelanggaran dengan mereferensi pembelian dan penggunaan dana BOS.
Untuk Tim Manajemen BOS Kab/Kota memiliki tanggung jawab untuk menetapkan data jumlah siswa tiap sekolah berdasarkan sumber langsung dari sekolah. Tim dilarang untuk memaksa pembelian barang dan jasa dalam pemanfaatan dana BOS terhadap sekolah serta tidak melakukan pungutan dalam bentuk apapun terhadap sekolah. Dinas Pendidikan Kab/Kota dan tim juga tidak diperkenankan bertindak menjadi distributor atau pengecer buku kepada sekolah yang menerima dana BOS seperti tercantum dalam Permendiknas 2/2008 Pasal 11 tentang Buku.
“Pendidik, tenaga kependidikan, anggota komite sekolah/madrasah, dinas pendidikan pemerintah daerah, pegawai dinas pendidikan pemerintah daerah, dan/atau koperasi yang beranggotakan pendidik dan/atau tenaga kependidikan satuan pendidikan, baik secara langsung maupun bekerjasama dengan pihak lain, dilarang bertindak menjadi distributor atau pengecer buku kepada peserta didik di satuan pendidikan yang bersangkutan atau kepada satuan pendidikan yang bersangkutan, kecuali untuk buku-buku yang hak ciptanya sudah dibeli oleh Departemen, departemen yang menangani urusan agama, dan/atau Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) dan dinyatakan dapat diperdagangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)”
Dana BOS 2011, Rp. 16,266 Triliun
Mendiknas Muhammad Nuh menyebutkan, pada 2008 lebih dari 40,2 juta siswa SD dan SMP atau yang sederajat menerima dan merasakan manfaat BOS. Sementara, lanjut Mendiknas, angka partisipasi murni (APM) siswa termiskin di SD mencapai 93,81 persen.
“Artinya tidak ada perbedaan untuk mendapatkan layanan pendidikan di sekolah dasar. Baik yang miskin maupun yang sangat kaya, yang super miskin, semua sudah mendapatkan layanan pendidikan,” katanya.
Demikian juga, lanjut Mendiknas, untuk APM siswa termiskin SMP telah mencapai 59 persen dengan jumlah kelulusan meningkat dari 50 persen pada 2006 menjadi 55 persen pada 2009. Mendiknas melanjutkan, alokasi danan BOS pada 2005 untuk SD sebanyak Rp 235.000 meningkat menjadi Rp 266.000 pada 2008.
Sementara pada 2009 biaya satuan BOS termasuk BOS Buku SD/SDLB kabupaten Rp 397.000, SD/SDLB Kota Rp 400.000, SMP/SMPLB/SMPT kabupaten Rp 570.000, dan SMP/SMPLB/SMPT kota Rp 575.000. Total populasi siswa sebanyak 30 juta siswa SD/MI dan 12,5 juta siswa SMP/MTs. Adapun pembiayaan dana BOS pada 2005 sebanyak Rp 5,1 triliun, pada 2006 Rp 12,3 triliun, pada 2007 Rp 12,4 triliun, pada 2008 Rp 12,2 triliun, dan pada 2009 Rp 19,4 triliun.
Sedangkan tahun 2011 ini dana BOS dialokasikan pada APBN sebesar Rp 16.266.039.176.000,00 untuk 36.751.515 siswa pendidikan dasar di seluruh Indonesia. Dengan rincian Rp 10,825 triliun untuk 27.225.299 siswa S/SDLBD dan Rp 5,441 triliun untuk 9.526.216 siswa SMP/SMPLB/SMPT. Ada juga dana cadangan BOS (buffer fund) yang dipergunakan untuk mengantisipasi bertambahnya jumlah siswa dari perkiraan semula karena adanya tahun ajaran baru 2011/2012 pada bulan Juni mendatang. Anggaran tersebut mencapai Rp 545.966 triliun.
Jumlah dana BOS ini sesuai dengan Permendiknas 247/pk.p7/2010 tentang alokasi dana BOS per siswa per tahun dan perjenjang pendidikan. Untuk siswa SD/SDLB di kota sebesar Rp 400 ribu, SD/SDLB di kabupaten Rp 397 ribu, SMP/SMPLB/SMPT di kota Rp 575 ribu, dan SMP/SMPLB/SMPT di kabupaten Rp 570 ribu. (red/001/tengku imam)
SKEMA BOS 2011
· Total Dana : Rp 16.266.039.176.000,00
· Dana Cadangan : Rp. 545.966.584.000,00
· SD di Kota/siswa/tahun : Rp 400.000,00
· SD di Kab/siswa/tahun : Rp 397.000,00
· SMP di Kab/siswa/tahun : Rp 575.000,00
· SMP di Kota/siswa/tahun : Rp 570.000,00
· Jumlah Siswa : 36.751.515 siswa
· Siswa SD/SDLB/MI : 27.225.299 siswa
· Siswa SMP/SMPLB/MTs : 9.526.216 siswa