Laporan Langsung Bapak Edi Basuki dari Kabupaten Rote Ndao, Provinsi Nusa Tenggara Timur
Bulan kemarin penulis diberi kesempatan untuk yang pertama kalinya melakukan perjalanan dinas ke Indonesia timur dalam rangka melakukan bimbingan teknis, tepatnya di SKB Rote Ndao yang terletak di Pulau Rote, sebuah daerah di gugusan kepulauan Nusa Tenggara Timur.
Dengan menggunakan kapal motor ekspres dapat ditempuh sekitar dua jam-an dengan harga tiket kelas VIP seratus lima puluh ribu rupiah sekali jalan. Gelombangnya cukup menegangkan, membuat sebagian penumpang mabuk laut, sehingga kalau cuaca buruk, maka syahbandar setempat melarang untuk berlayar. Ini merupakan kendala tersendiri yang turut berpengaruh pada lalu lintas perekonomian antara Pulau Rote dan Kota Kupang.
Di dekat pulau Rote ada Pantai Bo’a yang sangat indah ombaknya bagi para penggemar olahraga selancar, khususnya para wisatawan mancanegara. Disana juga ada Pulau Dana yang merupakan pulau ter-selatan Indonesia berbatasan langsung dengan Australia. Di Pulau terpencil dengan segala kekurangannya itulah terletak Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Rote yang mengendalikan program pendidikan nonformal (PNF), dengan segala keterbatasannya yang disebabkan oleh faktor geografis menjadi cerminan daerah tertinggal dalam segala hal, khususnya akses pendidikan.
Kondisi SKB Rote sangat layak disebut memprihatinkan, pamong belajarnya hanya dua orang, didukung oleh empat orang staf TU dan seorang Kepala harus mengemban tugas melaksanakan program PNF yang tersebar di delapan kecamatan. Kondisi transportasi merupakan kendala utama, belum nanti kalau musim penghujan, apalagi sebagai kabupaten pemekaran, APBD nya belum bisa mendukung sepenuhnya terhadap program pemerataan pendidikan melalui PNF.
Seperti SKB lainnya, mereka juga melaksanakan program keaksaraan fungsional, pendidikan kesetaraan, PAUD dan berbagai program life skills. Namun jangan disamakan mutunya dengan SKB yang terletak di tempat tidak terpencil. Programnya berjalan saja sudah untung, hal ini terkait dengan latar belakang sosial, ekonomi dan budaya mereka yang masih sangat sederhana, masih banyak penduduk yang menggantungkan hidupnya kepada kebaikan alam.
Inilah salah satu tantangan, bagaimana mengedukasi mereka dengan bahasa mereka sehingga mereka menyadari akan keadaan diri dan masyarakatnya untuk kemudian bersama merubah menuju tatanan yang sejahtera. SKB harus bisa mengkreasi pesan program PNF sesuai dengan ‘kearifan lokal’ dan kebutuhannya agar program yang disajikan mudah dipahami dan menjadi tolehan masyarakat.
Halaman SKB cukup luas, kesan gersang tampak sekali karena kurang dimanfaatkan dengan hijau dedaunan yang menyejukkan pemandangan, sehingga yang menonjol adalah kesan kering kerontang menyapa setiap yang datang. Bangunannya retak disana sini, tanaman penghias pun dibiarkan hidup merana, ruang belajarnya, asramanya, gudangnya, semuanya kusam jarang dipakai kegiatan, dibiarkan menunggu kehancurannya, inipun karena dana perawatanya memang tidak mencukupi.
Yang jelas bangunan tua itu sudah waktunya di renovasi untuk kemudian dimanfaatkan seoptimal mungkin sebagai pusat kegiatan belajar masyarakat, baik yang sesuai dengan program kerja SKB maupun kegiatan masyarakat, seperti pertemuan warga, olahraga dan aktivitas masyarakat lainnya.
Tidak ada salahnya jika muncul harapan bahwa daerah perbatasan itu mendapat “perhatian yang lebih” agar tidak diambil oleh Negara tetangga. sudah banyak contoh pulau terluar yang lepas dari NKRI karena kita lupa memperhatikannya. SKB Rote yang terletak di daerah terpencil dan terluar itu, kiranya perlu memprioritaskan programnya pada usaha ekonomi produktif, seperti keterampilan pertukangan, perbengkelan, perikanan dan memanfaatkan pengolahan potensi lokal yang memiliki nilai jual.
Salah satu potensi alam yang bisa dikembangkan adalah pohon lontar yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, salah satunya adalah sebagai bahan baku gula semut dan gula air, gula khas Pulau Rote dan daunnya bisa digunakan untuk pembuatan alat musik Sasando.
Disamping itu juga harus bisa menanamkan jiwa nasionalisme kepada peserta didik dalam pembelajarannya. Tentunya tugas yang berat ini wajar jika didukung oleh dana yang memadai agar upaya percepatan kesejahteraan penduduk di daerah terpencil melalui pendidikan nonformal bisa segera terwujud.
Syukur-syukur jika SKB bisa memprogramkan sebuah kerjasama dengan para tentara yang bertugas menjaga perbatasan Negara, misalnya olahraga bersama, out bond, kemah pemuda dan lainnya. Dengan kegiatan itu akan terjadi komunikasi yang hangat antara pemuda (penduduk) setempat dengan para tentara yang bertugas. Sehingga dengan kegiatan ini transfer of knowledge, skill and culture diantara mereka akan terjadi, termasuk juga rasa nasionalisme dan ikut menjaga wilayah kedaulatan NKRI pun akan tumbuh dengan sendirinya, dan yang terpenting para tentara penjaga perbatasan itu tidak merasa sendiri dalam menjalankan tugasnya.
Pemikiran-pemikiran kreatif dan inovatif ini tentunya juga muncul dalam benak karyawan SKB Rote, hanya saja segala ‘mimpi’ itu terpaksa dikubur hidup-hidup karena semuanya tidak mendukung, jangankan bermimpi, Rencana anggaran belanja rutin saja jauh dari cukup untuk melaksanakan program sehingga harus dicukup-cukupkan sesuai prioritas dan keterjangkauannya, itu pun tidak selalu lancar pelaksanaannya.
SKB sebagai salah satu ujung tombak suksesnya program PNF senyatanyalah masih dipandang sebelah mata, keberadaannya pun masih belum setara dengan pendidikan formal, sehingga para penggiat PNF harus selalu berusaha meningkatkan kinerja, kompetensi dan profesionalismenya dalam mengemban tugas dan fungsinya melaksanakan program PNF yang semakin terasakan manfaatnya oleh masyarakat yang menjadi sasaran program.
Untuk itulah pembinaan kepada sasaran didik perlu kiranya terjadwal dengan baik dan pelaksanaannya tidak sekedar ‘menggugurkan kewajiban’ demi memenuhi aturan laporan semata. Sedangkan untuk SKB yang terletak di daerah (pulau) terpencil kiranya harus ada sedikit perbedaan perlakuan dalam pembinaan dan pendanannya.
Tidak ada salahnya jika Direktorat yang ngurusi PNF bekerjasama, mengadakan MoU dengan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, Kementerian Perikanan dan Kelautan dan Panglima Tentara Nasional Indonesia dan pihak-pihak terkait lainnya untuk bersama-sama menggarap program pemberdayaan melalui berbagai keterampilan fungsional yang bisa ‘langsung’ mensejahterakan masyarakat di wilayah terdepan dari Indonesia, agar kasus lepasnya beberapa pulau terluar tidak terulang kembali dimasa depan. mudah-mudahan di era reorganisasi kelembagaan yang sedang diwacanakan ini bisa berbuat nyata untuk wilayah terpencil di perbatasan.
Sudah sepantasnyalah jika Direktorat PNF, Provinsi NTT maupun Pemda Rote Ndao pro aktif “meminta jatah” kepada pemerintah yang akan menganggarkan dana Rp 2,8 Trilyun untuk daerah perbatasan agar sebagian dananya bisa dialokasikan untuk program pemberdayaan melalui pendidikan nonformal yang dikerjakasn secara keroyokan antar departemen agar hasilnya nyata dan transparan sehinga semuanya merasa ikut memilikinya. Semoga. [Edibasuki/bppnfi.reg-4surabaya]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar