Kemaren-nya lagi, kemarin, hari ini, esok dan mungkin lusa—guru-guru honorer tetap berdemo…
JAKARTA (MAJALAH KOMUNITAS) -- Berbagai cara sudah dilakukan. Mulai dari mendatangi pejabat daerah baik kepala dinas pendidikan, badan kepegawaian daerah, walikota/bupati, maupun lewat jalur politik ke DPRD, bahkan di pusat seperti ke DPR, Kemdiknas, BKN dan Kemen PAN RB. Hasilnya, nasib guru honorer tetap tak pernah jelas.
Prustasi dengan jalur formal, guru yang tidak diakui statusnya oleh Undang-Undang itu akhirnya memilih mengadukan nasibnya di jalanan. Ya, berdemo, memohon, meminta hingga memelas kepada siapa saja yang merasa bertanggung jawab akan nasib mereka.
Apa hasilnya, tetap nihil—O (baca: nol). Guru Honorer bahkan ingin bertahan hingga tuntutan nasib pahlawan tanpa tanda jasa itu dikabulkan. Mereka bermaksud mengepung Istana Negara hingga berminggu-minggu berharap ditemui dan diberikan solusi oleh penghuni istana, sang presiden, Susilo Bambang Yudhoyono.
Untung tak dapat diraih, SBY tidak ada di tempat. Setali tiga uang, para pejabat di lingkaran SBY, seperti staf ahli, setneg, juga tidak mau menghampiri guru honorer. Mereka beralasan, guru demo salah alamat.
Berbeda dengan yang dilakukan buruh di hari yang sama (Selasa, 03 Mei 2011) yang ricuh dengan aparat kepolisian dan saling lempar, guru honorer tetap mengedepankan demonstrasi damai, tertib dan aman—termasuk tanpa menghujat.
Namun, mereka tetap tak mendapatkan hasil. “Masih ngambang Bang. Draf PP sudah final, tinggal ditandatangani RI-1,” kata Fitri Marhayati, Sekretaris Forum Komunikasi Guru Sukarelawan (FKGS) Sekolah Negeri Kota Bekasi lewat SMS.
Ia juga mengaku tetap tidak kapok. Selagi tuntutan belum di dengar, mereka akan tetap di jalanan. Sekalipun dalam hati, mereka sangat malu dilihat oleh siswanya yang ditonton lewat tv.
Demonstrasi tetap mereka lakukan, bahkan setiap hari secara bergantian, biar terketuk hati pejabat yang punya tanggungjawab soal nasib guru honorer. Mengingat, waktu mereka sudah sangat sempit.
Draf PP pengganti PP 48/2005 jo PP 43/2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil sudah final. Sayang, RPP yang diharapkan menjadi kado Hari Pendidikan Nasional di bulan Mei ini terhadap 600.000 honorer di Indonesia tidak sesuai harapan.
Dalam RPP hanya 30% yang akan diangkat menjadi CPNS, sisanya dikembalikan ke daerah masing-masing. Proses yang 30% pun harus melalui tes, jika tidak lulus tes mereka akan diberhentikan alias di PHK sebagai guru. Atau mereka hanya mau menjadi guru sukarelawan (SUKWAN) seumur hidup.
Mereka hanya menuntut 1 hal, diangkat 100% menjadi CPNS. Karena banyak dari mereka sudah mengabdi hingga 20 tahun di sekolah negeri milik pemerintah.
Selain Diskriminasi, Status Mereka Tidak Diakui
Saat adanya program pengangkatan guru menjadi CPNS sesuai PP 48/2005, guru-guru dibuat jengkel oleh pejabat berwenang, BAKN dan Men PAN (sekarang BKN dan Kemen PAN & RB). Mengapa tidak, selain ketidakjelasan upah (banyak yang mendapatkan upah hanya Rp. 50.000 per bulan), status mereka tidak diakui oleh kedua instansi tersebut.
Sangat berbeda dengan PNS yang gajinya selalu naik setiap tahun ditambah tunjangan yang bermacam-macam, fasilitas, asuransi bahkan dengan berbagai bonus dan gaji ke-13 yang membuat kecemburuan itu. Sementara, guru honorer saat ini hanya mendapatkan gaji antara Rp 50.000-300.000 per bulan.
Persoalan guru Non PNS memang sangat komplek. Karena di daerah istilah-istilah guru Non PNS berbeda-beda. Ada yang disebut Guru Sukwan, Wiyata Bhakti, Honorer Murni, Guru Tidak Tetap, Guru Honorer Daerah/Honda, dan Guru Bantu. Sementara UU hanya menyebut guru PNS dan Non PNS/GTT.
Pengangkatan guru honorer menjadi CPNS sesuai aturan PP 48/2005 hanya ditujukan bagi guru yang gajinya berasal dari APBN/APBD. Sementara guru yang macam-macam istilah diatas bukan digaji APBN/APBD melainkan dari komite, BOS, dan sumbangan pendidikan dari siswa sebelum berlakunya BOS tidak termasuk yang diangkat.
Belum lagi adanya program sertifikasi guru yang dianggap diskriminasi dan menganaktirikan guru honorer. Hingga tahun 2011 ini belum satupun guru honorer yang lulus bahkan menjadi peserta calon guru yang harus disertifikasi. Sehingga, jika program sertifikasi merupakan salah satu cara mensejahterakan guru, program ini tidak menyentuh guru honorer sama sekali, akibat terbentur persyaratan yang mengutamakan guru berpengalaman, usia paling tua dan status PNS.
Sehingga, jangan heran jika minggu-minggu ini di seluruh jalanan negeri, terutama di depan gedung-gedung mewah Walikota, Bupati, Gubernur, Presiden, DPRD maupun DPR—guru honorer terpaksa menghilangkan rasa malu mungkin bisa dibilang sudah diputuskan urat malunya demi memperjuangkan nasib mereka hingga dianggap benar-benar sebagai Guru, Teladan, Panutan, dan pembentuk karakter, pencetak generasi pemimpin bagi bangsa ini.
Akankah, tuntutan dan hak mereka di dengar oleh orang yang mengaku mewakili dan melayani rakyat itu…kita lihat saja.
Tengku Imam Kobul Moh. Yahya S., ST (Bang Imam)
Direktur Sosial dan Pendidikan LSM Sapulidi dan penggiat Pendidikan
Tinggal di Pojok Kayuringin Sonoan Dikit (PKSD) Bekasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar